Macantua.com – Ducati, kalau mendengar nama pabrikan motor satu ini pasti pikiran akan melayang pada motor dengan kecepatan fantastis di track panjang setiap sirkuit. Yup, motor dengan power yang selalu di atas rata rata lawan lawannya hingga motor ini terkenal sulit untuk dikendalikan khususnya saat memasuki tikungan di setiap ajang balapan. Beberapa pembalap ternama sudah menjadi penunggang motor kencang ini di ajang motogp, beberapa diantaranya berhasil membawa motor ini menaikin podium puncak hingga berhasil menjadi juara dunia. Tapi, ada satu yang membuat tim balap pabrikan ini seolah tetap sama yakni BUDEG, ga mau mendengar masukan langsung pembalapnya. Dan akhirnya tim ini beberapa kali ditinggalkan pembalapnya.
Sebut saja di era motogp 4tak Ducati bisa dibilang pabrikan yang minim jari juara dunia. Kembalinya Ducati di tahun 2000an di ajang motogp ini justru mampu jadi juara dunia di tangan Stoner27, seorang pembalap asal Australia yang dianggap bukan pembalap “darah biru dari Eropa”. Sementara beberapa pembalap pendahulunya memang belum bisa menghantarkan Ducati menjadi pabrikan dengan banyak kemenangan sejak pertama bergabung di motogp 2003 lalu bersama Bayliss dan Capirossi. Di awal kerjasamanya Stoner memang sering crash bersama Ducati, namun saat musim 2007, Stoner seolah menemukan keajaiban dengan mesin 800cc (saat itu motogp motogp turun ke 800cc) terbarunya. Namun semua keinginannya di atas Ducati seperti tak didengar oleh tim dan manajemen dan akhirnya Stoner27 pun hengkang dari Ducati ke HRC (Repsol Honda) di tahun 2011.
2011 Rossi mengisi kursi kosong yang ditinggalkan oleh Stoner, Rossi di sini menjadi tumbal liarnya mesin Desmosedici selanjutnya. Beberapa revisi diajukan oleh Valentino Rossi, the doctor yang digadang gadang mampu menjadi penakluk Ducati selanjutnya. Namun selama perjalanan 2 tahun bersama Ducati, Rossi justru mengalami miskin podium, perbaikan sana sini ga berpengaruh pada prestasinya di atas Desmosedici ini. Sulitnya mengajukan perubahan menjadi salah satu sebab lambatnya perkembangan Rossi di atas Ducati. Hingga akhirnya Rossi dan Ducati pun resmi bercerai dan Rossi kembali rujuk dengan Yamaha.
Dovizioso melanjutkan Rossi menjadi pemacu kuda besi Italia ini. Dovi yang konsisten mempelajari keunikan Ducati namun belum sempat memberikan gelar juara dunia mesti sudah banyak meraih podium bersama Ducati, hingga puncaknya Dovi menjadi runner up di musim 2017 bersama Ducati. Di tahun yang sama Lorenzo masuk menemani Dovizioso namun perjuangannya masih “mentah”, butuh banyak penyesuaian dirinya dari M1 ke Desmosedici yang membuatnya harus puas diremehkan oleh manajemen tim nya karena dibandingkan performanya dengan tim satelite Ducati yang bisa lebih baik dari dirinya.
Di tahun 2018 ini Lorenzo memberikan gebrakan baik dengan Ducati, di awal musim Lorenzo mulai kencang di sesi practice namun lagi lagi harus crash dan ga membawa poin satupun. Ajuan revisi pun dilakukan Lorenzo, namun sama seperti jaman Rossi, semua keluh kesah yang disampaikannya ga terealisasi. Hingga akhirnya 2 musim terakhir yakni Mugello dan Catalunya. Lorenzo melakukan revisi pada desain tangki motornya dan efeknya luar biasa. Lorenzo langsung dapat podium pertama di atas Ducati secara dua kali berturut turut di dua sirkuit dengan karakter berbeda. Namun hasil perubahan dan podiumnya ini seolah hanya sebagai “pembuktian” dimana di dua musim ini Lorenzo sudah FIX akan pindah ke HRC menggantikan Dani Pedrosa yang dikabarkan akan pensiun dari dunia balap MotoGP. Kenapa ane sebut pembuktian ? Ya karena sebelumnya Lorenzo justru dianggap makan gaji buta di atas Ducatinya.
Stoner, Rossi, dan sebentar lagi Lorenzo. 3 pembalap besar yang akhirnya cabut dari Ducati. Ga sabar dengan Ducati? Mungkin iya, namun mendengarkan masukan pembalap demi perubahan menuju kemenangan itu penting. Dan Ducati seolah sulit mendengarkan masukan praktis dari pembalapnya. Mungkin ini yang membuat Ducati meskipun powerfull belum bisa mendapatkan gelar juara dunia lagi sejak jaman Stoner di tahun 2007 lalu. Sudah 10 tahun berlalu lho, masa sih ga kangen pengen juara dunia lagi? Ga kangen mendominasi setiap race? Apa masih mau keukeuh “budeg”?
<